Jumat, 18 November 2011

Mendidik Generasi Muda Islam


Anak merupakan amanah dari Allah SWT yang harus mendapatkan perhatian dari orang tuanya secara serius, terutama dalam hal pendidikan mereka, agar kelak menjadi anak shaleh dan shalehah. Marilah kita tanamkan nilai-nilai agama dan budi pekerti yang luhur sedini mungkin agar mereka menjadi generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia yang sanggup mengatasi tantangan kehidupan dizamannya, karena mereka akan hidup disuatu zaman yang berbeda dengan zaman kita. Bagaimana warna ummat islam dimasa yang akan datang, maka pemuda-pemuda dan anak-anak kita sekarang lah yang jadi jawabannya.
Kita tidak boleh lengah dengan kondisi yang terjadi saat ini, bagaimanapun harus kita akui bahwa kemajuan teknologi yang pesat, arus informasi global yang dengan mudah mengakses kehidupan dan budaya dunia yang terkadang tidak bisa disaring oleh generasi kita, tentu ini akan menjadi suatu polemik yang harus kita tuntaskan bersama, yang dimulai dari rumah kita sendiri.
Belakangan ini kita merasa perihatin dengan munculnya beberapa kasus yang menimpa generasi muda ditanah air kita, mulai dari maraknya Geng Motor, free seks, tawuran dimana-mana, mengucapkan kata-kata jorok yang telah menjadi “lalap” bagi generasi kita, bahkan pada usia kategori anak-anak telah banyak yang terlibat dengan penyalahgunaan narkoba, mulai dari pemakai, pengantar, dsb. Padahal kita tahu bahwa mereka adalah generasi yang akan meneruskan perjuangan kita, generasi yang akan menjadi bagian dari potret tanah air Indonesia di massa yang datang. Realitas ini harus kita sikapi secara serius, karena jika tidak, maka kiranya bukanlah suatu hal yang mustahil kasus-kasus seperti itu akan menjalar dan menjangkit mengenai lingkungan kita.
Kondisi yang demikian telah memaksakan kita kembali kepada konsep ajaran agama Islam yang memandang anak sebagai amanah atau titipan Allah yang harus dijaga dan diperhatikan dengan sungguh-sungguh, khususnya dalam hal pendidikan dan juga mengenai hal yang lainnya. Memang di zaman sekarang tantangan yang dihadapi begitu besar dan berat, mendidik anak ibarat menggiring domba ditengah kawanan serigala, sedikit lengah, habislah domba itu di mangsanya.
Dalam usia-usia dimana mereka belum stabil dan belum pula memiliki ketahanan, mereka masih dalam proses mencari bentuk dan sangat mudah terpengaruh oleh teman-teman dan lingkungannya, mereka akan mencari alternatif yang mereka jumpai di sekitarnya yang seringkali mengesampingkan pertimbangan moral. Maka kita harus hati-hati dalam menawarkan figur-figur yang akan menjadi pilihan mereka.
Sebagai orang tua atau guru, kita harus benar-benar mampu memeberikan alternatif terbaik, agar kepribadian yang mereka miliki juga baik. Dan harus disadari benar bahwa dalam hal ini orang tua memiliki peranan yang tidak saja besar, tetapi juga menentukan.

Rasulullah SAW dalam sebuah hadis menjelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah atau suci, adapun ia akan menjadi Yahudi atau Nasrani tergantung orang tuanya dalam mendidik dan mempengaruhinya.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak atau putra-putri Islam, para ulama menyatakan bahwa kewajiban pertama kali bagi setaip orang tua adalah menanamkan akidah dan tauhid. Maka langkah pertama kali bagi orang tua yang merupakan kewajibannya sebagai adalah menegenalkan mereka kepada Allah SWT, sebagai Tuhannya, serta mengajarkan mereka tentang nilai-nilai ketuhanan.
Dalam hal ini, tidak selalu harus ditempuh dengan memberikan pelajaran formal dalam forum khusus atau tertentu, namun bisa memesukkannya ke dalam bentuk budaya dan prilaku sehari-hari. Sebagai contoh adalah dengan mengajarkan bacaan basmalah dan hamdalah serta doa-doa ringan sebelum dan sesudah mengerjakan sesuatu yang baik dalam aktivitas kesehariannya, dan kita pun mencontohkannya.
Di samping nilai-nilai ketuhanan seperti disebutkan diatas, juga pendidikan yang harus sejak dini di tanamkan kepada anak adalah kesadaran akan kewajiban kepada Allah Swt. Rasulullah SAW bersabda “Suruhlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan jiak mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah (dengan pukulan yang tidak membahayakn) jika tidak mau melaksanakannya. Kemudian pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR al-Hakim)
Memeperhatikan hadits tersebut di atas jelaslah bagi kiat tentang tanggung jawab orang tua terhadap anaknya mengenai kewajiban-kewajibannya. Ketika anak-anak telah mencapai usia tujuh tahun, di mana anak-anak sudah memasuki usia tamyiz, orang tua sudah harus memerintahkannya, melaksanakan kewajiban kepada Tuhannya, yaitu shalat.
Berarti pula bahwa sebelum menginjak usia tersebut kita dituntut untuk mengajarkan segala hal yang bertalian cenagn kewajiaban shalat, separti tata cara berwudlu, mengenai najis dan hadats, dan lain sebagainya.Hal yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan anak, adalah keteladanan yang baik dari orang tua dan lingkungan sekitarnya, mengingat kondisi anak-anak yang cenderung ingin meniru setiap perilaku yang terlihat di dalam lingkungannya. Sementara ia belum mengerti tentang baik dan buruk, belum memahami bahaya yang akan menjerumuskan ke dalam jurang kenistaan. Maka perhatian orang tua, sebagai orang yang paling dekat dengan anak-anak haruslah selalu memperhatikan aspek etika dan moral agama.
Pada prinsipnya ada beberapa hal yang menjadi hak anak, yang menjadi kewajiban bagi orang tua:
Pertama, orang tua berkewajiban memberi nama anaknya dengan nama yang baik dan terpuji. Seperti, Muhammad, ahmad, dan nama-nama lain yang bermakna baik.
Kedua, menanamkan akidah dan akhlak kepada putra-putrinya.
Ketiga, mengajarkan kecintaan pada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi pegangan hidup bagi orang yang beriman.
Keempat, jika putra-putri itu telah dewasa dan telah berkemampuan, maka kewajiban berikutnya sebagai orang tua adalah menikahkannya dengan pasangan yang beriman dan berbudi pekerti yang baik.
Memperhatikan sekilas gambaran diatas, sebagai orang tua, kita harus sadar bahwa betapa besar tanggung jawab kita dalam mengemban amanah yang berupa anak tersebut. Maka sangat disayangkan jika terjadi salah asuh, sehingga tumbuh menjadi generasi yang bukan lagi harapan, namun malah menjadi beban. Penting juga diperhatikan bahwa mendidik anak jangan sampai hanya terbatas mengisi otaknya, tetapi jiwanya harus diisi dengan nilai-nilai spiritual religius, sehingga kelak disamping intelek juga alim dan berbudi luhur.
Sangat disesalkan adanya sementara orang tua yang memiliki perhatian besar tentang kepandaian, kecerdasan dan keterampilan anaknya, namun tidak memiliki perhatian yang memadai tentang kondisi jiwanya serta pendidikan rohaniahnya. Terlebih lagi dengan orang tua yang tidak memiliki perhatian terhadap pendidikan, membiarkannya tanpa pengarahan atau bahkan hanya menjejalinya denagn materi tanpa kasih sayang dan jiwanya tidak diisi dengan niali-nilai rohani keagamaan.
Ketika kita juga memperhatikan lingkungan disekitar kita ini, sebagian besar anak-anak yang bermasalah bahkan sampai membuat kewalahan orang tuanya adalah anak-anak yang jiwanya tidak tersentuh dan tidak terisi oleh moral keagamaan yang memadai. Sebaliknya, anak-anak yang mendapatkan pendidikan moral dan rohani yang cukup di samping.intelgensianya, akan tumbuh menjadi generasi yang berkualitasdan bermoral dalam setiap aktivitas kehidupannya. Dalam kapasitas kita sebagai orang tua sudah seharusnya memperhatikan pendidikan anak-anak kita, dan pendidikan yang diterima anak dari orang tualah yang akan menjadi dasar dari pembinaan kepribadian anak. Dengan kata lain, orang tua jangan sampai membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa bimbingan, atau diserahkan pada guru sekolah saja atau pembantu rumah tangga. Inilah kekeliruan yang banyak terjadi dalam realitas kehidupan kita.
Hal yang tidak boleh kita lupakan adalah jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah dibalakang kita, dalam hal ini perhatikan firman Allah Swt. Berikut ini. “Dan hendaklah takit kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapakan perkataan yang benar.” (QS an-Nisa`: 9)
Semoga Allah menganugerahi kita keturunan dan generasi yang shaleh dan shalehah, serta menganugerahakn rahmat dan petunjukNya kepada kita untuk dapat mencapai kedamaian, dan kebahagiaan hidup baik didunia maupun di akhirat. Amin

Minggu, 13 November 2011

Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan


A. Oleh : Rahmat Lubis (PPS IAIN-Sumut)
   Pendahuluan
Pendidikan memiliki peranan penting dalam upaya pencapaian kemajuan bangsa. perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan ini.
Menganggap pentingnya pemikiran para ahli dalam menjalankan proses pendidikan, maka dipandang perlu untuk mengetahui lebih jauh seperti apa konsep pendidikan dalam pandangan para ahli yang dipandang punya sumbangsih dalam dunia pendidikan.
Ahmad Dahlan yang merupakan salah satu tokoh pembaharu dalam dunia pendidikan di Indonesia dianggap memilki pemikiran yang brilian. Sekembalinya dia menimba ilmu ke dunia Arab, dia telah banyak mendalami kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya yang dikenal sebagai reformis dalam pemahaman tentang islam. Dengan melihat kondisi keagamaan yang ada pada ketika itu di Indonesia, pemikiran para repormis ini dipandang beliau sesuai untuk mengganti faham yang berbau bid’ah dan khurafat menjadi faham yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Atas dasar inilah kelak yang melatarbelakangi berdirinya organisasi keagamaan Muhammadiyyah, yang berkembang menjadi salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, yang bergelut dibidang dakwah dan pendidikan. Satu hal yang menarik adalah bahwa Ahmad Dahlan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada warga Muhammadiyyah untuk berkecimpung dalam berbagai disiplin ilmu yang kelak digunakan untuk mengabdi pada Muhammadiyyah.
Maka dalam makalah ini akan diuraikan bagaimana Pendidikan Islam dalam pandangan Ahmad Dahlan, dan juga Biografi beliau yang mungkin dapat memberikan tambahan khazanah keilmuan bagi para pelaku pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.

A.   Biografi Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923.[1] Pendapat lain menyebutkan bahwa ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1969 dengan nama Muhammad Darwis, ayahnya bernama K.H. Abubakar bin Kiyai Sulaiman, seorang imam dan khatib di masjid besar Kraton Yogyakarta. Dan ibunya bernama Siti aminah putrid K.H. Ibrahim, penghulu kesultanan Yogyakarta.[2]
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Quran, dan kitab-kitab agama lainnya. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya: K. H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K. H. Muhsin (ilmu nahu), K. H. R. Dahlan (ilmu falak), K. H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis).[3]
Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqh dan dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahu 1890 dimana ia belajar selama setahun.[4] Merasa tidak puas dengan kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah dan menetap disana selama dua tahun. Dan pada kunjungannya yang kedua kali inilah Ahmad Dahlan banyak bertemu dan melakukan Muzakkarah dengan ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah, diantaranya: Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Mas Kembang.
Pada saat yang sama ia mulai mengenal ide-ide pembaharuan, ia mulai mendalami kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya yang dikenal sebagai reformis dalam pemahaman tentang islam.
Ide pembaharuan yang telah berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, terutama setelah ia membandingkan dengan kondisi keberagamaan yang ada ditanah air. masih banyak yang perlu dibenahi agar kembali kepada Islam yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Untuk itu, atas saran beberapa murid dan anggota Budi Utomo, maka Ahmad Dahlan merasa perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen.[5] Maka Pada Tanggal 18 November 1812 Ahmad Dahlan beserta temen-temannya mendirikan organisasi Muhammadiyah yang memiliki tujuan utama untuk mendalami agama Islam dikalangan anggota sendiri dan menyebarkan agama Islam diluar anggota inti.
Ahmad Dahlan di usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam mesjid Agung dengan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan memberikan arah kiblat yang benar dalam mesjid. Menurutnya letak kiblat mesjid yang mengarah ke barat adalah keliru, sebab letak kota Makkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di mesjid Agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga mesjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai mesjid dan tanda shaf yang ditulis dengan kapur tersebut.[6]
B.   Pemikiran Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan
            Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu  yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini diperparah dengan politik Kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami  munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungan pertama ke Makkah. Kemudian ide tersebut lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya, baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad 20.[7]
            Dalam memperkaya ide pembaharuannya, pada kunjungannya tersebut Dahlan menyempatkan diri untuk bertemu dan berdiskusi dengan Rasyid Ridha. Bias dari kontak intelektual ini dapat dilihat dari dinamika intelektualnya. Bias tersebut antara lain:
1.      Menjadikan pemahaman tentang ajaran Islam semakin mendalam dan komprehensif.
2.      Kecenderungan yang hanya mempelajari kitab-kitab para ulama mulai bergeser ke arah pencarian dan penelaahan secara mendalam langsung dari sumber aslinya, al-Quran dan as-Sunah.
3.      Bangkitnya semangat untuk memurnikan kembali ajaran dan pemahaman umat terhadap ajaran Islam (al-Quran dan Sunah Rasulullah).
Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi:
1.      Berupaya memurnikan ajaran Islam dari khufarat, tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam aqidah dan ibadah umat Islam.
2.      Mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Menurut Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.[8] Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik hingga cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetadinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah kembali kepada al-Quran dan hadis, mengarahkan pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara trategis dapat dilakukan melalui pedidikan.[9]
Pelaksanaan pendidikan menurut Dahlan, hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abd Allah dan khalifah fi al-ardh.[10]. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-‘aql. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.[11] Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan meteodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal dan horizontal dalam konteks tujuan penciptanya.
Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta. Meskipun dalam banyak tempat al-Quran senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Quran juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada realitas fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di ala mini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Menurut Dahlan, materi pendidikan adalah pengajaran al-Quran dan hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar. Materi al-Quran dan hadis meliputi: ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Quran dan hadis menurut akal, kerjasama antara agama kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratis dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti). Pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progesif.[12]
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan system klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Komitmen Dahlan terhadap pendidikan agama demikian kuat. Oleh karena itu, diantara faktor utama yang mendorongnya masuk organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909, adalah untuk mendapatkan peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya. Strategi yang ditempuhnya dimaksudkan untuk membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para anggota organisasi Boedi Oetomo pada umumnya bekerja di sekolah dan kantor pemerintah waktu itu. Komitmennya terhadap pendidikan agama selanjutnya menjadi salah satu ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912, yaitu organisasi Muhammadiyah.[13]
Tanpa mengurangi pemikiran intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran Dahlan tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat tantangan dari masyarakat pada waktu itu, terutama dari lingkungan pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi Dahlan, tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana.
Arus dinamika pembaharuan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dalam membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional. Sehingga Islam sesuai dengan tujuan dasarnya Rahmatan li’alamin.
 
D. Konsep Dasar Pendidikan Ahmad Dahlan  
1. Pendidik
Hakikat guru dalam pandangan Dahlan adalah tenaga pendidik professional yang diberi kepercayaan sebagai penanggung jawab kurikuler dengan tugas-tugas pokok sebagai pendidik, yang secara spesifik sebagai pengemban amanat khilafah. Agar fungsi dan peranan guru sebagai pengemban amanat khilafah benar-benar dapat direalisasikan, maka pendidik mengambil  peranan sekurang-kurangnya dalam tiga aspek, yaitu:
a.       Sebagai pengemban amanat risalah Islamiyah yang menyebarkan dan menginternalisasikan ajaran dan nilai-nilai Islam kepada peserta didik khususnya, dan kepada masyarakat pada umumnya.
b.      Sebagai Pembina akhlak yang menjadi benteng moral dan teladan dalam mengembangkan sikap, watak dan kepribadian luhur peserta didiknya.
c.       Sebagai pembimbing dan penyuluh yang berusaha mengoptimalkan kemampuan belajar serta mencarikan jalan keluar atas kesulitan belajar peserta didik dan sekaligus mengarahkan mereka agar tetap memelihara dan meningkatkan iman dan ketaqwaannya kepada Allah.

2.      Peserta Didik
Hakikat peserta didik dalam konsep pendidikan Islam menurut Dahlan adalah bahwa setiap umat manusia yang lahir kedunia ini membawa bakat-bakat dan sifat dasar yang secara moral selaras dengan fitrah penciptaan manusia yang cenderung pada kebaikan dan kebenaran Islam.[14]
Kecenderungan yang demikian memiliki potensi berkembang, tetapi karena kualitasnya yang masih lemah, sehingga perkembangannya banyak dipengaruhi oleh hasil interaksinya dengan lingkungan dan pendidikan yang diterimanya. Dengan demikian pendidikan dan lingkungan dikonsepsikan sebagai sarana yang dapat membantu perkembangan kepribadian peserta didik kearah yang lebih baik, terutama jika pendidikan berikut lingkungan yang mengitarinya memberi dukungan positif terhadap kecenderungan tersebut. Jika sebaliknya maka kecenderungan itu tidak akan berkembang, bahkan akan mengakibatkan lahirnya perilaku dan kepribadian yang buruk sebagai penyimpangan dari fitrah aslinya. Walaupun begitu, potensi kebaikan tersebut tidak akan hilang selaras dengan fitrah manusia yang tidak pernah berubah yang memungkinkan untuk berkembang dan  dikembangkan.[15]

3.      Kurikulum
Pengorganisasian kurikulum yang digunakan Dahlan adalah menempatkan matapelajaran agama islam sebagai kurikulum inti, yang menjiwai seluruh matapelajaran yang disajikan. Dengan cara seperti ini, maka setiap matapelajaran yang disajikan di lembaga pendidikan tetap bersentuhan dengan iman dan kesalehan, karena seluruh konsep keilmuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai matapelajaran tersebut tetap berorientasi pada ajaran Islam.

4.      Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang ditawarkan Dahlan lebih berpusat pada nilai (value centered), yakni tidak hanya didominasi atau terpusat pada guru dan tidak pula oleh peserta didik, karena kalau hanya terpusat pada guru memperlihatkan posisi guru sebagai pemegang kedaulatan absolut. Kegiatan belajar peserta didik sepenuhnya bergantung pada kehendaknya dan kekuasaan guru. Adapun proses pembelajaran yang terpusat pada peserta didik saja,berbuat sebaliknya. Dalam hal ini peserta didiklah yang aktif, sedangkan guru lebih menampakkan diri sebagai pelakon yang pasif. Untuk itu pendidik dan peserta didik sama-sama memiliki kedaulatan yang berimbang dalam hubungan saling bekerja sama untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran Islam.
Oleh karena itu interaksi keduanya dikonsepsikan sebagai hubungan antar pribadi yang saling mengakui kedaulatan kedua belah pihak sebagai pelaku perubahan yang sama-sama aktif, sehingga memungkinkan untuk merealisasikan keaktifan dan kedaulatannya masing-masing yang saling menghargai dan menjujung tinggi etika, bahwa yang tua hendaklah dihormati dan yang muda hendaklah disayangi.[16]
Dengan demikian maka kegiatan belajarnya lebih mengarah pada proses belajar aktif, yang diharapkan timbul dari kerelaan dan kesadaran peserta didik sebagai perwujudan keaktifan dan kedaulatan yang dimilikinya. Dalam hal ini guru berusaha melibatkan seluruh aktifitas mental peserta didik dalam setiap proses pembelajaran dengan menciptakan kondisi belajar dalam suasana nyaman dan menggairahkan sehingga keinginan dan kegiatan belajar dengan suka rela, termotivasi dengan sendirinya berdasarkan niat yang tulus, tanpa merasa dibebani dan tanpa harus menunggu perintah.
Dalam konteks inilah, kewibawaan guru sebagai pendidik Muslim yang memancar dari segenap kompetensi kepribadiannya sebagai imamah dan teladan keutamaan yang pantas dihormati dan dihargai merupakan kunci keberhasilan dalam mewujudkan suasana belajar yang aktif, disamping adanya kemampuan professional dalam menjalankan tugas profesinya sebagai seorang pendidik Muslim.

5.      Tujuan Pendidikan
Menurut Dahlan tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia Muslim yang bertaqwa, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, cinta tanah air, berguna bagi masyarakat dan Negara, beramal menuju terwujudnya masyakarat utama adil dan makmur yang diridai Allah swt., sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan diarahkan untuk mengaktualkan kualitas kemampuan peserta didik sebagai manusia Muslim yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai makhluk individu, makhluk lingkungan alam, dan makhluk sosial.
Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, maka pendidikan berupaya untuk mengarahkan dan meningkatkan kuallitas individual peserta didik, baik kesemptaan rohaniah dan jasmaniahnya, maupun kecerdasannya melalui internalisasi akidah yang lurus, ibadah yang benar, akhlah yang terpuji, perasaan yang halus, kebiasaan hidup yang sehat, pembekalan ilmu dan keterampilan yang bermanfaat serta melatihnya berfikir jernih dan rational.
Kedudukannya sebagai makhluk lingkungan alam, maka pendidikan berupaya mengarahkan dan meningkatkan kualitas peserta didik dalam berlingkungan alam dengan menyuburkan sikap bersahabat dan mencintai alam atas dasar keimanan dan rasa syukur kepada Allah swt., bahwa Dialah pemilik alam sesungguhnya yang dianugrahkan-Nya kepada manusia untuk dijadikan bermanfaat serta dipelihara sebaik-baiknya guna kelangsungan manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia.
Berkenaan dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial, pendidikan berupaya mengarahkan dan meningkatkan kualitas sosial peserta didik dengan menyuburkan sikap hidup yang cinta perdamaian dan gemar bermusyawarah dalam membangun kehidupan bersama atas dasar persaudaraan, kerjasama, kenal-mengenal, kebaikan, toleransi, keadilan dan saling memaafkan kesalahan.[17]
Dengan tiga kualitas tersebut diharapkan akan menumbuhkan kebulatan kepribadian Muslim, sehingga tidak ada kerancuan antara dirinya sebagai makhluk individu dengan dirinya sebagai makhluk lingkungan alam, dan makhluk sosial, karena akhlak, ilmu dan amal tetap menjiwai seluruh aktifitasnya, yang dengannya peserta didik dapat merealisasikan pencapaian tujuan penciptaan manusia yang dikehendaki Allah baik sebagai hamba-Nya maupun sebagai khalifah-Nya.
Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah dibagi menjadi dua kelompok, yang termasuk kelompok pertama pada masa awal adalah sekolah-sekolah umum dan kejuruan seperti;

1)      Volkschool,
2)      Standardschool,
3)      Hollands Inlands School (HIS),
4)      Schakelsschool,
5)      MULO,
6)      Hollands Inlands Kweeksschool (HIK).
Yang pada umumnya mengadopsi kurikulum pemerintahan Belanda (Sekolah-sekolah gubernemen). Sementara kelompok kedua adalah sekolah-sekolah keagamaan, seperti madrasah-madrasah;
1)      Diniyah Ibtidaiyah,
2)      Wushta,
3)      Mu’allimin,
4)      Muballighin,
5)      Zu’ama.
Yang matapelajarannya disusun berdasarkan pilihan Muhammadiyah sendiri.[18]
Agar kegiatan belajar aktif tersebut menjadi lebih terarah sudah tentu diperlukan metode pembelajaran yang relevan. Dalam hubungan inilah dituntut kemampuan guru untuk memilih dan menerapkan metode-metode pembelajaran yang memiliki koherensi dan relevansi yang tinggi dengan materi dan tujuan pembelajaran suatu bidang studi. Karena itulah, sekalipun singkat, Muhammadiyah sengaja memperkenalkan beberapa metode pengajaran yang umum digunakan berikut penjelasan mengenai relevansi dan kelayakan metode-metode tersebut untuk digunakan secara baik dan benar agar efesiensi dan efektivitas hasil dari suatu proses pembelajaran dapat tercapai.
Metode-metode tersebut adalah:
a.       Metode ceramah, apabila materi pelajaran tersebut berupa fakta-fakta atau informasi yang memerlukan penjelasan.
b.      Metode demonstrasi, apabila guru memandang perlu untuk memperlihatkan sesuatu proses ataupun cara-cara tertentu.
c.       Metode kerja kelompok, apabila permasalahan yang dikandung oleh bahan pelajaran dipandang perlu untuk dipecahkan peserta didik secara bersama-sama/ gotong royong dan berkelompok.
d.      Metode karyawisata, apabila bahan pelajaran itu terdapat dalam obyek yang berada di luar sekolah.
e.       Metode drama, apabila bahan pelajaran itu menghendaki pengamatan dan pengalaman buatan.
f.       Metode bimbingan dan latihan, apabila berkenaan dengan pengembangan minat, bakat, keterampilan dan kecakapan praktis.[19]
Sekalipun hanya ada enam metoda pembelajaran yang diperkenalkan Ahmad Dahlan berikut perincian penerapannya, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan metode-metode lain, karena keragaman metode pembelajaran yang diperkenalkan beliau tersebuut menunjukkan perlunya menggunakan metode pembelajaran yang beragam.
Hal tersebut mudah dimengerti, karena metode pembelajaran hanyalah merupakan cara atau jalan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini tidak ada satu alat pun yang dapat dipandang paling baik untuk digunakan dalam mengerjakan segala macam pekerjaan. Setiap alat memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing baik dalam penggunaannya maupun dari segi hasil yang dicapainya.
Demikian juga halnya dengan metode pembelajaran. Tidak ada satu metode pun yang bisa dikatakan paling efektif dan efesien untuk menyajikan semua bahan pelajaran dengan berbagai macam dan jenis tujuannya. Metode ceramah misalnya, yang kadang-kadang banyak dicerca sebahagian orang sebagai metode yang kurang efektif, tidaklah selamanya benar. Ceramah tidak dapat dikatakan baik atau buruk, kecuali harus dinilai menurut tujuan pembelajarannya. Jika guru ingin menyampaikan informasi dan fakta dihadapan sejumlah besar peserta didik, yang fakta atau informasi itu tidak terangkum di dalam buku-buku teks, maka metode ceramah masih dipandang tepat digunakan.
Jadi, sekali seorang guru telah menetapkan tujuan pembelajaran pada suatu materi yang akan disajikannya dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi pembelajaran itu berlangsung, maka persoalan selanjutnya ialah, bagaimana metode atau cara yang sebaik-baiknya dilakukan agar tujuan tersebut dapat tercapai. Cara atau mretode tersebut kemungkinan sekali tidak akan digunakannya pada materi dan tujuan yang lain.
E. Karya-karyanya  
Karya-karya Ahmad Dahlan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia dan terlebih lagi bagi umat Islam tentunya, diantaranya adalah:
1)      Mengubah dan membetulkan arah kiblat, yang tidak tepat menghadap mestinya. Umumnya mesjid-mesjid dan langgar-langgar di Yogyakarta bagian Timur, orang-orang yang sembahyang didalamnya menghadap kearah Barat lurus. Padahal kiblat yang sebenarnya menurut Dahlan menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah miring kearah Utara 24 derajat dari sebelah Barat. Oleh sebab itu, K. H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju ke arah kiblat yang betul. Memang perubahan yang diadakan oleh Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar mesjid dan kekuasaan kerajaan.
2)      Mengajar dan menyiarkan agama Islam dengan cara popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ketempat-tempat lain untuk menda’wahkan agama. Bahkan dapat dikatakan Dahlan adalah bapak muballigh Islam di Jawa Tengah, sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek bapak muballigh Sumatera Tengah.
3)      Memberantas bid’ah-bid’ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
4)      Mendirikan perkumpulan (organisasi) Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember tahun 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini hidup dan tersebar di seluruh tanah air sampai sekarang. Pada permulaan berdirinya organisasi Muhammadiyah ini mendapat halangan dan rintangan yang sangat hebatnya, bahkan Dahlan dikatakan telah keluar dari mazhab, meninggalkan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Bermacam-macam tuduhan dan fitnahan yang diberikan kepadanya. Tetapi semua itu diterimanya dengan sabar dan tawakkal, sehingga Muhammadiyah menjadi suatu perkumpulan yang besar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan mendirikan sekolah-sekolah sejak dari taman kanak-kanak sampai sekolah tinggi.[20]
F. Kesimpulan
Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Karena beliaulah salah satu yang membidani organisasi keagamaan tersebut yang sangat popular dalam Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan system pendidikan gubernemen. Di samping sekolah desa kampungnya sendiri, Ahmad Dahlan juga membuka sekolah yang sama di kampong Yogya yang lain. Masih banyak ide-ide pendidikan yang dikemukakan K. H. Ahmad Dahlan, diantaranya:
1.      Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam, yang semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah.
2.      Ahmad Dahlan telah memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah agama atau madrasah.
3.      Ahmad Dahlan telah mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari semula pengajaran sorogan kepada metode pengajaran yang lebih bervariasi.
4.      Ahmad Dahlan mengajarkan sikap hidup lebih terbuka dan toleran.
5.      Ahmad Dahlan dengan organisasinya muhammadiyah, termasuk organisasi Islam yang paling pesat dalam pengembangan lembaga pendidikan yang lebih bervariasi.
Ahmad Dahlan juga telah memperkenalkan manajemen yang modern ke dalam sistem pendidikan. Cita-cita dan usaha Ahmad Dahlan semakin berkembang pada saat ini, dan telah menunjukkan kemajuan yang amat besar, dapat dilihat sampai sekarang ini. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya terus maju baik itu lembaga pendidikan maupun lembaga masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Adaby, A. Darban, Kamal, Mustafa, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Penerbit: LPPI ect, 2003.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim.
Niza_ Samsul, Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
Siddik, Dja’far, Pendidikan Muhammadiyah, Malang: Ken Mutia, 1996.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara Sumber, 1995.




[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis), (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 100
[2] Mustafa Kamal, Derman Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Idealis, (Penerbit: LPPI ect, 2003), h. 10
[3] Ramayulis, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 327
[4] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 203
[5] Syamsul Nizar, Filsafat pendidikan Islam, h. 10
[6] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. 204
[7] Delier Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 316
[8] Ahmad Syafii Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 221
[9] Ramayulis, Filsafat.., h. 331
[10] Merujuk pada tujuan penciptaan manusia dapat dilihat pada QS. 2:30, 6:102 dan 51:56.
[11] Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, h. 99.
[12] Ramayulis, Filsafat…, h. 332.
[13] Deliar Noer, Gerakan.., h. 86.
[14] Dja’far Siddik, Pendidikan Muhammadiyah, (Bandung: Bandung: Cipta Pustaka Media, 2007), h. 175.
[15] Ibid, h. 213.
[16] Ibid, h. 219
[17] Ibid, h. 215.
[18] Ibid, h. 182.
[19] Ibid, h. 210.
[20] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara Sumber, 1995), h. 267-268.